Islam merupakan agama yang syumul (menyeluruh), artinya
segala aspek dalam kehidupan manusia, Islam telah mengaturnya. Mulai dari hal
terkecil dalam kehidupan sehari-hari hingga hal yang besar dan kompleks dalam
kehidupan manusia, tak terkecuali masalah kenegaraan. Hal tentang ketatanegaraan
ini memang tidak banyak di sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an, namun
Rosulullah SAW mencontohkan langsung dalam penerapan di kehidupan.
A.
Sejarah Pemerintahan Rosulullah
Hijrah dari
makkah ke madinah, dalam sejarah dakwah Rosulullah SAW adalah metamorfosis dari
“gerakan” menjadi negara. Melalui hijrah, gerakan itu “menegara”, dan Madinah
adalah wilayahnya. Kalau individu membutuhkan akidah, maka negara membutuhkan
perangkat sistem. Kemudian Allah menurunkan perangkat sistem yang dibutuhkan.
Turunlah ayat-ayat hukum dan berbagai kode etik sosial, ekonomi, politik,
keamanan dan lain-lain. Lengkaplah susunan kandungan sebuah negara : manusia,
tanah, dan sistem.[1]
Pemerintah yang
dibentuk nabi di Madinah, terdapat beberapa hal yang prinsipel dan pokok seperti
termuat dalam Piagam Madinah, yang terdiri dari 47 pasal. Negara dan
pemerintahan Madinah adalah bercorak teokrasi yang dikepalai oleh seorang Rosul
yakni Muhammad ia adalah pemimpin agama.
Ia membuat UU atas dasar Al-Qur’an. Walaupun nabi adalah kepala pemerintahan,
namun kedaulatan ada di tangan Allah.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأرْضِ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ
لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ
السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الأرْضِ إِلا بِإِذْنِهِ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ
لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya : “Kepunyaan Allah-lah segala
yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Apakah kamu tiada melihat bahwasanya
Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di
lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi,
melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada Manusia.
Pemerintahan
yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah memiliki ciri khas tersendiri
dan sebagai sebuah institusi yang berdaulat. Nabi Muhammad SAW adalah kepala
negara, sekaligus kepala angkatan bersenjata, ketua pengadilan, dan tanggung
jawab atas departemen-departemen yang dibentuknya. Dalam proses penyebarannya,
Islam pada masa Nabi mengakomodir setiap budaya lokal yang dinilai bermanfaat
bagi kelangsungan pemerintahan Islam.[2]
B.
Konsepsi Negara dalam Islam dari berbagai Sudut Pandang
Memperbincangkan istilah “Negara Islam”, untuk itu kita harus
membedahnya dari berbagai arah.
1.
Ilmu mantiq (logika)[3]
Pada ilmu mantiq bahwa terdapat “dilalah” (petunjuk), garis
besarnya terbagi dua:
a.
Dilalah
Lafdhiyah, yaitu bilamana penunjuk itu merupakan lafadh atau perkataan.
b.
Dilalah
Ghairu Lafdhiyah, yaitu bilamana si penunjuk itu bukan merupakan lapadh, tetapi
merupakan isyarat, tanda-tanda, bekas-bekas dll.
Berdasarkan pengetahuan logika di atas itu, maka mengenai
pengertian (konsepsi) Negara Islam dalam Al-Qur’an, sebagai penunjuknya itu
ialah isyarat yang mana Kitabbullah itu mengisyaratkan bahwa kita harus
menjalankan kewajiban-kewajiban antara lain :
1)
Menjalankan
hukum pidana Islam. Lihat Qs. Al-Maidah : 38, 45 (Pencurian dan Qishosh), QS
An-Nur : 2 (Zina), dan QS 2 Al-Baqarah : 178 (Diyat)
2)
Melaksanakan
ibadah yang berkaitan dengan perekonomian, diatur oleh pemerintahan Islam,
sehingga menyalur pada Kebenaran Illahi. Lihat Qs At-Taubah : 29, 101 (Jizyah).
3)
Mempunyai
kepemimpinan tersendiri sehingga tidak didikte oleh manusia yang
setengah-tengah (fasik/kafir) terhadap Islam. Lihat Qs Al Maidah : 51, 57
(Jangan mengambil pemimpin dari orang kafir dan orang yang mempermainkan
agama), Qs. Al-A’raaf : 3 (Jangan mengambil Pemimpin yang tidak taat kepada
Alloh), Qs Ali Imran : 28 dan Qs. An-Nisa :144 (Jangan menjadikan orang kafir
sebagai wali).
4)
Memiliki
kekuatan militer tersendiri, umat berfungsi sebagai tentara Islam (Qs.
Al-Anfaal : 39 (memerangi orang-orang yang menimbulkan fitnah terhadap Islam),
Qs 2 Al-Baqarah : 123 (memerangi orang kafir), Qs 9 At-Taubah : 73 (berjihad
melawan orang kafir dan munafik serta bersikap keras terhadap mereka).
Dengan
adanya kewajiban-kewajiban itu saja telah menunjukkan keharusan umat Islam memiliki
kedaulatannya sendiri, Yaitu “Negara yang berazaskan Islam”/Negara Islam.
2.
Kaidah ushul fiqh[4]
Barusan kita menolehnya dari ilmu mantiq, kini kita tinjau
pula dari sudut Qaidah Ushul Fiqih yang bunyinya:
مِنْ بَابِ مَالاَ يَتِمُّ الْوُجُوْبُ اِلاَّ
بِهِ فَهُوَا وَاجِبٌ
“Suatu
kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu hal, maka sesuatu hal
itu menjadi wajib”.
Yang
dimaksud oleh kaidah diatas itu, yakni bahwa dalam menjalankan sesuatu
kewajiban, sedangkan untuk bisa menyempurnakan kewajiban yang dituju itu harus
menggunakan satu bentuk pekerjaan, maka menjalankan bentuk pekerjaan demikian
itu wajib adanya. Contohnya, dalam hal wajibnya berwudhu untuk melakukan
shalat. Disebabkan hal itu wajib maka menyiapkan adanya air untuk itu pun wajib.
Sungguh, kalau dicari dalam Al-Qur’an tidak didapati ayat yang bunyinya secara
saklek mewajibkan kita berusaha memperoleh air. Akan tetapi, kewajiban berfikir
dan berbuat dengan ilmu dalam hal ini sudah jelas tidak perlu disebutkan.
Sama
maksudnya dengan qaidah yang tertera diatas tadi, di bawah ini kita lihat lagi
qaidah ushul fiqih yang bunyinya :
اَلاَمْرُ بِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Memerintahkan
sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh perantaraan-perantaraannya”.
Misalnya,
memerintahkan naik rumah, itu berarti juga memerintahkan untuk mentegakkan
tangga, sebagai perantaraannya. Sesuatu perbuatan yang diperintahkan tidak akan
terwujud kecuali dengan adanya perbuatan-perbuatan lain sebelumnya ataupun
alat-alat untuk mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Maka,
perbuatan-perbuatan lain dan alat-alatnya disebut perantara (wasilah) sebagai
wajib muqayyad.
Berdasarkan
penganalisaan dari ilmu fiqh itu maka mentegakkan negara/daulat Islam itu
hukumnya adalah wajib. Sebab, bahwa daulah Islam itu sebagai alat untuk kita
bisa menterapkan hukum-hukum Islam secara sempurna. Juga, merupakan wasilah
yaitu perantaraan untuk mendhohirkannya.
3.
Mustholah al-hadist[5]
Seirama dengan ilmu mantik dan ushul fiqh, maka ilmu
“Musthalah Hadist” menyatakan bahwa “Hadist” ialah semua yang disandarkan
kepada Nabi Saw, baik berupa “Qauliyyah” (perkataan), “Fi’liyyah” (perbuatan)
dan “Taqririyah” (pengakuan).
Penjelasannya sebagai berikut :
a.
Qauliyah
ialah berupa perkataan, baik itu berupa perintah atau larangan, pun berita yang
diucapkan Nabi. Artinya merupakan lafadh, perkataan.
b.
Fi’liyyah
yaitu yang berupa perbuatan Nabi Saw. Pada baris yang kedua ini dimengerti
bahwa yang dinamakan hadist/sunnah Nabi Saw itu tidak semua berupa perkataan.
Jadi, bila Nabi itu tidak mengucapkan kata “Negara Islam” atau “Daulat Islam”,
tetapi bila nyatanya beliau telah membentuk organisasi yang setara dengan
“negara”. Serta menjalankan nilai-nilai Islam yang berhubungan dengan
kenegaraan/kekuasaan, maka membentuk negara yang berazaskan Al-Qur’an dan
Sunnah Saw adalah wajib bagi umat penerusnya. “Kekuasaan” yang berazaskan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw itu logikanya ialah “Negara Islam”. Pun,
logis bila dalam segi lainnya di dapat perbedaan definisi dari yang non-Islam.
c.
Taqririyah yaitu
Pengakuan Nabi Saw terhadap perbuatan sahabat yang diketahui oleh Nabi, tetapi
Nabi tidak menegur atau menanyakannya. Yang semuanya itu bersangkutan dengan
beberapa hikmah dan hukum-hukum yang terpokok dalam Al-Qur’an.
Dengan hal-hal yang telah dipraktekkan Nabi Saw, jelas
sekali bahwa adanya “konsepsi negara Islam” di dalam hadist, maka sebagai
penunjuknya yaitu “perbuatan” Nabi Saw, yang mana telah membuat garis pemisah
antara kekuatan militer musyrikin dan militer Islam. Kelompok Abu Jahal, Abu
Lahab memiliki prajurit bersenjata, maka Nabi pun menyusun dalam
mengimbanginya. Beliau telah bersikap tegas, Siapa saja yang menyerang negara
Islam, maka dianggapnya sebagai musuh, walau dirinya telah mengaku muslim
(perhatikan QS 4 : 97), dan sikap Nabi terhadap Abu Abas diterangkan pada
bagian keempat). Ringkasnya, bahwa seluruh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan
kedaulatan seperti yang dikemukakan tadi telah dipraktekkan oleh Nabi melalui
kekuasaan yang berlandaskan Islam. Lembaga yang sesuai dengan pola dari Nabi
itu akan menjamin kita menjalankan hukum Islam secara “Kaaffah”.
Dalam Al-Qur’an banyak istilah “Para Pemegang Kekuasaan”
(ulil amri). Hal itu diterapkan Rasulullah Saw di Madinah. Beliau selaku kepala
pemerintahan (negara), jelas memiliki kedaulatan dalam teritorial serta
memproklamirkan kekuasaan (daulat) untuk menjalankan hukum terhadap masyarakat.
Juga, mempunyai ribuan prajurit bersenjata dan aparat pemerintahan yang
dikoordinasi dalam satu lembaga. Dengan arti lain, tidak bercerai-berai (QS 3 :
103). Sungguh kesemuanya itu adalah identik dengan sesuatu negara.
Bagi kita mengenai beda-bedanya istilah ”negara” dan
“daulat”, juga “pemerintahan”, bukanlah soal ! Melainkan, yang harus
diyakinkan; sudahkah diri berada dalam lembaga yang sesuai dengan ketentuan
Al-Qur’an dan pola dari Nabi Saw. Mari introspeksi sampai dimana batas maksimal
daya dalam berikhtiar guna mengikuti jejak Nabi kita itu.
Pada prinsipnya kita adalah Khalifatan fil Ardhi (penguasa
di bumi). Ini berarti tidak terbatas pada sesuatu negara/daerah. Akan tetapi,
toh; negara itu bagian dari bumi. Bila terjadi keterbatasannya daerah, maka hal
itu karena soal relatifnya kondisi kemampuan. Sedang yang diharuskan adalah
berdirinya kekuasaan. Dalam hal ini kita simak Firman Allah SWT yang bunyi-Nya
:
يَادَاوُدُ
إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي اْلاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ…
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan kebenaran…” (QS. 38 : 26)
Dalam memperhatikan ayat di atas itu, sejenak kita merenung
bahwa Nabi Daud yang telah dijadikan penguasa dimuka bumi. Maka, dapatkah
diartikan bahwa seluruh manusia di permukaaan bumi pada waktu itu sudah di
bawah kekuasaan Nabi Daud ? Rasulullah Saw diutus bagi segenap manusia
(kaafafatan linnaas), dan rahmatan lil a’lamiin (QS 21 : 27).
Namun, karena faktor dari kemanusiaannya, maka dayanya pun
terbatas. Dan dilanjutkan oleh para sahabat penerusnya. Umat Islam pada zaman
Khalifah yang sempat juga pada masa itu belum sampai menguasai seluruh dunia.
Yaitu masih terbatas. Masih mendingan adanya kekuasaan yang terbatas dari pada
yang “nol” sama sekali, dibawah kaki-kaki jahiliyah. Sebab itu kita tidak usah
mengahayal akan persatuan Islam sedunia, bila negeri sendiri masih dikuasai
pemerintahan thogut, dan diri terlibat dalam penterapan hukum-hukum kafir.
Penyebutan tentang istilah untuk “pemerintahan Islam”, maka
boleh disesuaikan dengan situasi selama tidak bertentangan dengan syara’. Dari
itulah, maka untuk “lembaga ulil amri” pada masa pemerintahan Rasulullah Saw
boleh disebut dengan istilah “Lembaga Kerasulan”. Sedang untuk masa khalifah,
yaitu “Khilaafah”. Lembaga khilafah ini adalah penerusnya dari lembaga
kerasulan.
Khilaafah
asal kata “Khalafa Yakhlupu Khilaafah”. Khilaafah ini bila disamakan dengan
“Imaamah”, berarti “pemerintahan” sebagai pengganti pemerintahan Nabi Saw. Bila
disejajarkan dengan “Imaamah” berarti “Ikutan” dari lembaga kerasulan. Sebab
itu, maka khilaafah ini berarti pula “perwakilan” (representation). Sedang
oknumnya ialah khalifah (vicegerent), berarti “utusan/delegasi”.
Jadi khilaafah
ini adalah Lembaga Kerajaan Allah dimuka bumi, di utuskan kepada hamba-Nya.
Tujuannya untuk menjalankan Undang-Undang-Nya di dalam kerajaan tersebut,
sebagaimana yang ditentukan didalam Kitab-Nya. Dengan kalimat lain bahwa
kedaulatannya di tangan Allah selaku Pemilik-Nya.
C.
Hukum Membentuk Negara dalam Islam
Kaum muslim
(ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan negara dalam Islam
itu adalah fardhu kifayah atas semua kaum muslimin. Alasannya[6] :
1.
Ijma’ sahabat, sehingga meraka mendahulukan permusyawarahan tentang
khilafah (politik dan ketatanegaraan) dari pada urusan jenazah Rosulullah saw.
Ketika itu para pemimpin Islam ramai membicarakan soal khilafah (politik dan
ketatanegaraan) itu, saling berdebat dan mengemukakan pendapat akhirnya
tercapai kata sepakat memilih Abu Bakar sebagai khalifah, kepala negara pertama
sesudah meninggalnya Rosulullah.
2.
Tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban (membela agama,
menjaga keamanan dan sebagainya) selain adanya pemerintahan.
3.
Beberapa ayat Al-Qur’an dan
hadist yang menyuruh kita umat Islam untuk menaati pemimpin. Dan Allah
menjanjikan bahwa akan menjadikan orang beriman sebagai Khalifah (pemimpin) di
muka bumi.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : “Dan Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qur’an
Surat An-Nur ayat 55).
D.
Dasar-Dasar Pemerintahan
Apabila kita terliti secara seksama dari sejarah yang ada, bahwa
pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan Khulafaur Rasyidin berdasarkan
atas[7] :
1.
Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggungjawab dalam menyampaikan
amanat kepada ahlinya (rakyat) dengan tidak menbeda bedakan bangsa san warna
kulit.
2.
Keadilan yang mutlak terhadap seluruh umat manusia dalam segala
sesuatu.
3.
Tauhid (mengesakan Allah), sebagaimana diperintahkan dalam
ayat-ayat Al-Qur’an supaya menaati Allah dan Rosul-Nya.
4.
Kedaulatan rakyat yang dapat dipahami dari perintah Allah yang
mewajibkan kita taat kepada ulil amri (wakil-wakil rakyat).
Firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(Qur’an
Surat An-Nisa’ ayat 58-59).
Menurut ahli tafsir Imam Muhammad Fakhruddin Razi dalam kitab
tafsir Mafatihul-Ghaib, beliau menafsirkan ulil amri di suatu tempat dengan ahlul halli wal
‘aqdi (alim ulama’, pemimpin-pemipin yang ditaati oleh rakyatnya),
sedangkan di lain tempat beliau menafsirkan dengan ahli ijma’ (ahli-ahli yang
yang memberi keputusan). Kedua tafsir tersebut maksudnya adalah “wakil-wakil
rakyat yang berhak memutuskan sesuatu, dan mereka itu wajib ditaati sesudah
hukum Allah dan rosul-Nya.” Dari ayat diatas jelaslah kiranya empat dasar pokok
untuk mendirikan suatu negara.[8]
Mahfida Ustadzatul Ummah
kepala departemen Kaderisasi 2012 - 2013
[1] Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara, (Jakarta : Fitrah Rabbani,
2006), Hal. 2
[2] M. Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan peradaban Islam,(Yogyakarta:Pustaka
Book Publisher,2007) hal. 74-75
[3] Agus Pasarakan, Negara Islam ditinjau dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
http://blogs.garutleather.com/2010/07/27/negara-islam-ditinjau-dari-al-quran-dan-as-sunnah/
[4] Agus Pasarakan, Negara Islam ditinjau dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
http://blogs.garutleather.com/2010/07/27/negara-islam-ditinjau-dari-al-quran-dan-as-sunnah/
[5] Agus Pasarakan, Negara Islam ditinjau dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
http://blogs.garutleather.com/2010/07/27/negara-islam-ditinjau-dari-al-quran-dan-as-sunnah/
[6] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesinde,
2009), hal. 495
[7] Ibid. Hal. 496
[8] Ibid, hal. 497
bagus banget nih pembahasannya.
BalasHapusayo terus kita galang kesatuan ummat
kita propagandakan syariat sebagai dasar ketatanegaraan
ubah sistem demokrasi dengan sistem islam yang penuh rahmat