Mengapa harus repot-repot berpolitik di kampus? Untuk apa membentuk
partai mahasiswa, membiayai, meneguhkan dengan seluruh tenaga, fikiran
dan waktu kita? Untuk apa bertarung dan memperebutkan pengaruh dari
seluruh kawan-kawan mahasiswa kita? Tidakkah cukup dakwah menggunakan
bil-hal, bil-lisan, dan bil-qolam; tanpa harus gontok-gontokan dengan
organisasi lain? Tidakkah cukup berdakwah secara kultural dan fardhiyah?
Ada banyak pertanyaan yang harus diajukan, sebelum kita
benar-benar mantap untuk masuk dalam kancah politik kampus. Karena
memang banyak orang yang sudah merasa risi dengan istilah politik.
Terbukti, sedikit sekali persentase mahasiswa yang mau memberikan
suaranya dalam Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemira/Pemilwa).
Perlu diadakan pembacaan komprehensif terhadap realitas kampus dan
paradigma gerak kita. Hal itu merupakan suatu yang sangat penting,
dengan adanya paradigma dan pembacaan, maka stratak (strategi dan
taktis) dalam perjuangan akan mendapat arah yang jelas.
Urgensi Politik Kampus
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus adalah tempat bersemayamnya
cadangan pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa
tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah digembleng di kampus.
Soekarno-Hatta misalnya. Kedua tokoh ini menjadi founding father bangsa
ini dan menjadi tokoh sentral dalam sejarah pergerakan kemerdekaan
bangsa indonesia. Kampus sebagai miniatur suatu negara, menjadi tempat
yang layak, karena di dalamnya terjadi proses kaderisasi untuk menyemai
benih-benih pemimpin bangsa.
KAMMI sebagai organisasi yang
berbasis ekstra kampus harus mampu memanfaantkan potensi ini. Untuk
memainkan peran itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh KAMMI
dalam mengoptimalkan perannya di ranah politik kampus.
Pertama, penguatan kaderisasi. Pembentukan kader yang memiliki kualitas
intelektual dan kepahaman siyasah (politik) serta pengetahuan organisasi
yang mapan mutlak dilakukan dilakoni oleh KAMMI. Proses kaderisasi
tidak lagi terfokus atau bermain pada wilayah musholla, sudah saatnya
kaderisasi politik diserahkan sepenuhnya kepada KAMMI.
Sebagai
sebuah organisasi politik mahasiswa, tentunya KAMMI harus mempertegas
posisinya serta lebih cerdas memainkan perannya dalam hal keterlibatan
pada tataran kebijakan kampus. Untuk itu, penguatan basis kader adalah
syarat mutlak untuk terlibat politik kampus termasuk dalam hal
keterlibatannya di struktur lembaga kemahasiswaan.
Kedua,
terlibat dalam struktur lembaga internal kemahasiswaan. Hal ini perlu,
mengingat kebutuhan dakwah kampus sebahagian besar sangat ditentukan
oleh kebijakan-kebijakan yang sifatnya birokratis atau berasal dari
struktur kelembagaan. Oleh karenanya, membangun komunikasi yang baik dan
intens dengan tokoh-tokoh mahasiswa dan penentu kebijkan ditingkat
lembaga kemahasiswaan adalah suatu keharusan.
Ketiga,
membangun komunikasi dan membuka jaringan dengan pihak pengambil
kebijakan di tingkat fakultas dan universitas. Dan yang tak kalah
pentingnya juga adalah membangun komunikasi dengan perangkat kampus yang
lainnya seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan majalah kampus maupun
radio kampus. Hal ini perlu, mengingat misi dakwah lewat jalur politik
yang kita bawa tersebut dengan cepat dan diterima oleh semua elemen
kampus.
Keempat, membangun ketokohan. Disadari atau tidak,
ketokohan merupakan suatu hal penting yang dapat mempengaruhi tingkat
penerimaan terhadap suatu organisasi yang diwakili. KAMMI pun harus
melakukan hal serupa. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk
memunculkan ketokohan. Misalnya melalui forum diskusi, bedah buku,
seminar dan menyampaikan gagasan sert ide-ide cerdas melalui media, baik
di tingkat kampus maupun media massa atau bila perlu dengan menulis dan
menerbitkan buku.
Format dan Prinsip Dasar
Kini,
gerakan organisasi kemahasiswaan kembali marak. Kampus-kampus seperti
menemukan kembali roh perjuangannya yang lama hilang sejak proses
depolitisi kehidupan kampus lewat NKK/BKK seperti yang telah diulas pada
bagian awal buku ini. PP No. 61 tahun 1999 tentang Otonomi Kampus telah
dikeluarkan, walaupun secara umum masih terlalu banyak cacat.
Pemerintah juga tidak serepresif masa NKK/BKK dulu.
Setelah
pembubaran Dema (Dewan Mahasiswa) yang mempunyai pengaruh strategis
politik, maka peranan gerakan intra kampus pasca tahun 1998 diambilalih
oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Peran BEM cukup signifikan, baik
untuk lingkup nasional, regional, maupun untuk internal kampus itu
sendiri.
Di era sekarang, aliansi BEM yang mengemuka adalah
BEM SI (Seluruh Indonesia), BEM Nusantara, BEM Jabotabek BEM Joglosemar
juga FKMJ. Walau dengan agenda yang berbeda namun semuanya berpijak dari
parameter yang sama yaitu reformasi. Ke depan, peran strategis politis
ini seharusnya juga dimainkan oleh lembaga-lembaga formal kampus lainnya
seperti pers mahasiswa, atau kelompok studi profesi.
Depolitisasi dan karantina kehidupan kemahasiswaan pasca NKK/BKK era
1970-an sampai 1990-an, telah menjadi cambuk bagi mahasiswa untuk
bangkit, melakukan revivalisasi dalam merebut kedaulatan. Atas dasar
kemurnian hati, kedaulatan, dan kebersamaan mahasiswa serta kebebasan
akademis dan intelektualitas yang berkesusilaan dan berkemanusiaan, maka
mahasiswa sebagai bagian dari student world harus melakukan
revitalisasi lembaga mahasiswa, salah satunya melalui pemilu kampus.
Menarik sekali, jika mencermati pergerakan mahasiswa sekarang ini.
Ide-ide revolusi sistemik, pemerintahan rakyat miskin, pemerintahan kaum
muda (junta pemuda) dan lain-lain, ini merupakan tawaran segar yang
tentu saja memerlukan telaah yang cukup mendalam. Salah satu di antara
yang menarik adalah pra wacana atas student government (pemerintahan
mahasiswa/negara mahasiswa).
Dia diartikan sebagai pelembagaan
kepentingan politik mahasiswa dalam format negara mahasiswa, namun
tidak sama dengan negara, dimana konsepnya tidak terlepas dari teori
negara. Kalau boleh disederhanakan maka student government adalah
gerakan mahasiswa yang dilembagakan.
Agaknya perlu diambil
kesepakatan bersama seperti apakah format negara mahasiswa itu. Ada
beberapa variasi yang bisa disampaikan mengenai hal ini. Pertama,
student government merupakan bentuk pemerintahan yang mengambilalih
kekuasaan sehingga unsur-unsur kekuasaan dan kekuatan negara akan
dikuasai mahasiswa, hal ini tak lepas dari keprihatinan semakin tidak
jelasnya reformasi.
Kemudian yang kedua, student government
diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan negara dengan masuk ke
dalam sistem kekuasaan namun tidak seluruhnya. Sedangkan yang ketiga,
student government merupakan wadah gerakan mahasiswa itu sendiri yang di
dalamnya mempunyai bentuk sama atau mirip dengan bentuk negara. Yang
terakhir inilah yang barang kali menjadi entry point student government
dalam patron reformasi. Selain dari bentuk lembaga tersebut, juga perlu
dipikirkan bentuk material, substansi dan prinsip dasarnya.
Student government mempunyai paling sedikit lima prinsip dasar, yakni
moralitas, intelektualitas, politis, independen dan sejajar.
Masing-masing perlu dikritisi untuk memperoleh gambaran yang ideal
tentang konsep yang sedang dibahas ini.
Pertama, student
government berpatron pada gerakan moral. Sebelum ide gerakan mahasiswa
ini kita kembangkan lebih jauh, agaknya kita perlu lebih bijaksana untuk
becermin pada diri kita sendiri dahulu. Gerakan mahasiswa, terlepas
dari ideologinya, dilahirkan dan dibesarkan oleh mahasiswa itu sendiri
yang sedikit banyak terpengaruh oleh suasana lingkungan dan latar
belakang akademis. Dengan kata lain, mahasiswa adalah unsur dari gerakan
mahasiswa.
Secara umum masyarakat memandang mahasiswa sebagai
bagian kecil dari komunitas terdidik dari bangsa ini. Tapi yang
menggelikan tidak semua mahasiswa, namun mungkin cukup banyak, yang
kurang menyadari anugerah yang telah disandangnya.
Sebuah ironi
ketika mahasiswa meneriakkan slogan-slogan moralitas tatkala mahasiswa
yang lain kelakuannya tidak bermoral. Seks bebas, aborsi, pergaulan
tanpa batas, narkoba, ayam kampus dan tindak pidana adalah fenomena yang
tidak bisa begitu saja dihilangkan dari ingatan. Jika mahasiswa seperti
ini yang diberi kesempatan memegang kendali, apa jadinya?
Kedua, student government berpatron pada gerakan intelektual. Gerakan
mahasiswa yang berkarakter intelektual memang diharapkan menghasilkan
rumusan dan solusi konkret permasalahan bangsa sesuai dengan kapasitas
keilmuan yang dimiliki. Jika harapan ini terlaksana maka sebuah
kebahagiaan bagi masyarakat. Mahasiswa menjadi bagian komunitas yang
peduli terhadap rakyat yang miskin dan tertindas.
Konsepsi intelektual yang perlu dikembangkan adalah konsep intelektual profetik.
Konsep ini dapat didefinisikan sebagai gerakan yang meletakkan keimanan
sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal; gerakan yang mengembalikan
secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang
universal; gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada
usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan
manusia secara organik.
Dengan konsep ini, maka gerakan
mahasiswa akan menjadi patron bagi masyarakat untuk melakukan pencerahan
dan penyadaran. Namun celakanya, konsep pendidikan yang ditawarkan saat
ini lebih mementingkan kebutuhan pragmatis. Hasilnya adalah mahasiswa
berlomba-lomba untuk menyelesaikan studinya sebelum batas akhir yang
seringkali membawa dampak pada keengganan mahasiswa untuk ikut dalam
pergumulan membicarakan masyarakat yang teraniaya, apalagi,
berorganisasi dengan aktif.
Ketiga, student government
merupakan gerakan politik. Sebagai gerakan politik mempunyai arti
menjalankan fungsi kontrol (oposisi) terhadap kebijakan, baik kampus
maupun negara. Hal ini lebih berarti jika ada jalinan antar gerakan
mahasiswa, paling tidak jika ada isu/musuh bersama, biasanya mahasiswa
bersatu.
Turunnya $oeharto pada tahun 1998 merupakan salah satu
contoh betapa kuatnya gerakan mahasiswa tatkala bersatu. Namun pasca
lengsernya $oeharto, gerakan mahasiswa tidak lagi mempunyai kesamaan
terutama dalam hal strategi apa yang akan digunakan dalam melaksanakan
agenda reformasi.
Untuk mengokohkan peran politik ekstra
parlementer, student governement bisa menggunakan strategi: (1).
Mempengaruhi dan berupaya berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan
publik. (2). Mengawasi dan memantau pelaksanaan kebijakan publik (3).
Memberikan penilaian dan advokasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik.
Keempat, student government bersifat independen. Independen mempunyai
arti tidak terpengaruh kepentingan kelompok tertentu terutama di luar
mahasiswa. Sejarah Orde Lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa
partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan dengan menggarap
mahasiswa. tidak heran jika pada masa itu ada anggapan jika HMI adalah
alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII-nya, PNI dengan GMNI-nya, PKI
dengan CGMI-nya. Hendaknya, pada masa kini, citra KAMMI tidak selalu
identik dengan PKS. Ini penting sebagai catatan gerakan mahasiswa
tarbiyah.
Meskipun memang, tidak dapat dipungkiri bahwa
ekspresi gerakan mahasiswa adalah ekspresi moral yang berdimensi
politik, dan ekspresi politik yang berdasar pada prinsip moral dan
intelektual. Sebagai gerakan politik yang berbasis moral, gerakan
mahasiswa tidaklah berpolitik pragmatis yang berorientasi kekuasaan baik
bagi gerakan maupun kadernya.
Masa-masa awal Orde Baru pasca
tumbangnya Presiden Soekarno di beberapa lembaga formal intra kampus,
seperti di Universitas Indonesia telah terjadi pertentangan yang cukup
hebat antara aktivis-aktivis mahasiswa yang berhaluan independen dengan
mereka yang berafilisasi kepada lembvaga ekstra kampus. Hal ini
barangkali menjadi perdebatan yang terus menerus mengenai peran dari
lembaga-lembaga ekstra kampus ini.
Kelima, student government
sejajar dengan pihak mana pun. Hal ini adalah sebuah keberanian dari
gerakan mahasiswa yang akan menjadi bahasa perjuangannya. Sehingga
dengan pihak manapun gerakan mahasiswa mempunyai hak dan kesempatan yang
sama. Hal ini membutuhkan keterlibatan mahasiswa secara luas. Namun,
apa dikata, jika ternyata mahasiswa—bahkan secara umum—bersikap apatis,
masa bodoh terhadap kondisi kampusnya. Perlu energi yang besar untuk
merubah paradigma berfikir. Sehingga untuk menghadapi pihak-pihak di
luar maka mahasiswa harus mengatasi kondisi internal mereka sendiri.
Jadi membutuhkan energi dua kali.
Lima prinsip dasar di atas
merupakan basis bagi pengembangan student government di sebuah kampus,
maupun jaringan antar kampus. Dengan adanya proses internalisasi lima
prinsip dasar ini, maka gerakan mahasiswa dengan seluruh elemen yang
dimilikinya, akan menjadi kekuatan pressure group yang efektif terhadap
decision maker, baik di kampus maupun negara. Selain itu, kinerja
lembaga di student government tersebut akan mendapat arah yang jelas.
Keuntungan dan Strategi
Perlu dibentuk pemahaman yang benar akan politik kampus. Pengertian
yang sebenarnya mengenai politik dalam Islam, akan membawa pada
keteguhan gerak dalam menghadapi segala mihnah yang menghadang. Memahami
bahwa siyasah adalah sebuah wasilah untuk tahqiq ahdaf al-da’wah
(meneguhkan tujuan-tujuan dakwah). Sehingga politik kotor adalah
persoalan mental pelaku, dan bukan strategi perjuangan.
Berikut
beberapa keuntungan memasuki arena politik kampus. Pertama, dengan
membuat partai kampus dan aktif dalam kegiatan politik kampus, maka ada
kesempatan menyuarakan kepentingan kita dan mayoritas mahasiswa
konstituen. Secara praktis, tujuan-tujuan dakwah akan tersampaikan dalam
mimbar legislatif.
Kedua, dengan mendudukkan wakil mahasiswa di
Senat Mahasiswa, maka kebijakan kampus dapat kita awasi, kontrol dan
rekomendasikan. Ketiga, mengawali kultur positif tentang pengelolaan
lembaga mahasiswa, dengan mengembangkan kultur jujur dan amanah, maka
mahasiswa konstituen akan benar-benar merasa terwakili dan diayomi, di
sinilah nilai dakwah terinternalisasi.
Untuk memaksimalkan
sebuah kemenangan, maka perlu memikirkan strategi yang paling
menguntungkan bagi dakwah—dengan catatan tidak terseret dalam gelombang
pragmatisme. Strategi yang sebagaimana digunakan Rasul dahulu, yaitu
al-tahalluf (koalisi) dengan kekuatan perubah dalam struktur masyarakat.
Akumulasi kekuatan perubah akan menjadi pressure group paling efektif.
Dalam siyasah, terdapat manhaj perjuangan di tingkat parlemen. Biasa
disebut sebagai musyarakah ijabiyah banna-ah (partisipasi positif
konstruktif). Dengan metode itu, maka elemen dakwah yang berpolitik,
akan terlibat secara maksimal dalam pemberian masukan bagi eksekutif dan
pemberlakuan—atau penolakan—sebuah kebijakan.
Jika elemen
dakwah di kampus UIN Sunan Kalijaga sudah siap untuk masuk dalam pusaran
politik kampus, maka seyogyanya pertanyaan-pertanyaan pada point di
atas, sudah tidak lagi dilontarkan. Memasuki wilayah politik berarti
siap dengan segalanya. Ingat akan Thariq bin Ziyad di tepi Andalusia
yang membakar kapal anak buahnya dan meneguhkan perjuangan di depan
mata. Mungkin sekarang saatnya kita teriakkan, “Jangan pernah mundur
walau setapak, karena mundur adalah pengkhianatan!”.
Amin Sudarsono
Presiden Partai PAS 2001-2002
Ada banyak pertanyaan yang harus diajukan, sebelum kita benar-benar mantap untuk masuk dalam kancah politik kampus. Karena memang banyak orang yang sudah merasa risi dengan istilah politik. Terbukti, sedikit sekali persentase mahasiswa yang mau memberikan suaranya dalam Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemira/Pemilwa).
Perlu diadakan pembacaan komprehensif terhadap realitas kampus dan paradigma gerak kita. Hal itu merupakan suatu yang sangat penting, dengan adanya paradigma dan pembacaan, maka stratak (strategi dan taktis) dalam perjuangan akan mendapat arah yang jelas.
Urgensi Politik Kampus
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus adalah tempat bersemayamnya cadangan pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah digembleng di kampus. Soekarno-Hatta misalnya. Kedua tokoh ini menjadi founding father bangsa ini dan menjadi tokoh sentral dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa indonesia. Kampus sebagai miniatur suatu negara, menjadi tempat yang layak, karena di dalamnya terjadi proses kaderisasi untuk menyemai benih-benih pemimpin bangsa.
KAMMI sebagai organisasi yang berbasis ekstra kampus harus mampu memanfaantkan potensi ini. Untuk memainkan peran itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh KAMMI dalam mengoptimalkan perannya di ranah politik kampus.
Pertama, penguatan kaderisasi. Pembentukan kader yang memiliki kualitas intelektual dan kepahaman siyasah (politik) serta pengetahuan organisasi yang mapan mutlak dilakukan dilakoni oleh KAMMI. Proses kaderisasi tidak lagi terfokus atau bermain pada wilayah musholla, sudah saatnya kaderisasi politik diserahkan sepenuhnya kepada KAMMI.
Sebagai sebuah organisasi politik mahasiswa, tentunya KAMMI harus mempertegas posisinya serta lebih cerdas memainkan perannya dalam hal keterlibatan pada tataran kebijakan kampus. Untuk itu, penguatan basis kader adalah syarat mutlak untuk terlibat politik kampus termasuk dalam hal keterlibatannya di struktur lembaga kemahasiswaan.
Kedua, terlibat dalam struktur lembaga internal kemahasiswaan. Hal ini perlu, mengingat kebutuhan dakwah kampus sebahagian besar sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang sifatnya birokratis atau berasal dari struktur kelembagaan. Oleh karenanya, membangun komunikasi yang baik dan intens dengan tokoh-tokoh mahasiswa dan penentu kebijkan ditingkat lembaga kemahasiswaan adalah suatu keharusan.
Ketiga, membangun komunikasi dan membuka jaringan dengan pihak pengambil kebijakan di tingkat fakultas dan universitas. Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah membangun komunikasi dengan perangkat kampus yang lainnya seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan majalah kampus maupun radio kampus. Hal ini perlu, mengingat misi dakwah lewat jalur politik yang kita bawa tersebut dengan cepat dan diterima oleh semua elemen kampus.
Keempat, membangun ketokohan. Disadari atau tidak, ketokohan merupakan suatu hal penting yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan terhadap suatu organisasi yang diwakili. KAMMI pun harus melakukan hal serupa. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk memunculkan ketokohan. Misalnya melalui forum diskusi, bedah buku, seminar dan menyampaikan gagasan sert ide-ide cerdas melalui media, baik di tingkat kampus maupun media massa atau bila perlu dengan menulis dan menerbitkan buku.
Format dan Prinsip Dasar
Kini, gerakan organisasi kemahasiswaan kembali marak. Kampus-kampus seperti menemukan kembali roh perjuangannya yang lama hilang sejak proses depolitisi kehidupan kampus lewat NKK/BKK seperti yang telah diulas pada bagian awal buku ini. PP No. 61 tahun 1999 tentang Otonomi Kampus telah dikeluarkan, walaupun secara umum masih terlalu banyak cacat. Pemerintah juga tidak serepresif masa NKK/BKK dulu.
Setelah pembubaran Dema (Dewan Mahasiswa) yang mempunyai pengaruh strategis politik, maka peranan gerakan intra kampus pasca tahun 1998 diambilalih oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Peran BEM cukup signifikan, baik untuk lingkup nasional, regional, maupun untuk internal kampus itu sendiri.
Di era sekarang, aliansi BEM yang mengemuka adalah BEM SI (Seluruh Indonesia), BEM Nusantara, BEM Jabotabek BEM Joglosemar juga FKMJ. Walau dengan agenda yang berbeda namun semuanya berpijak dari parameter yang sama yaitu reformasi. Ke depan, peran strategis politis ini seharusnya juga dimainkan oleh lembaga-lembaga formal kampus lainnya seperti pers mahasiswa, atau kelompok studi profesi.
Depolitisasi dan karantina kehidupan kemahasiswaan pasca NKK/BKK era 1970-an sampai 1990-an, telah menjadi cambuk bagi mahasiswa untuk bangkit, melakukan revivalisasi dalam merebut kedaulatan. Atas dasar kemurnian hati, kedaulatan, dan kebersamaan mahasiswa serta kebebasan akademis dan intelektualitas yang berkesusilaan dan berkemanusiaan, maka mahasiswa sebagai bagian dari student world harus melakukan revitalisasi lembaga mahasiswa, salah satunya melalui pemilu kampus.
Menarik sekali, jika mencermati pergerakan mahasiswa sekarang ini. Ide-ide revolusi sistemik, pemerintahan rakyat miskin, pemerintahan kaum muda (junta pemuda) dan lain-lain, ini merupakan tawaran segar yang tentu saja memerlukan telaah yang cukup mendalam. Salah satu di antara yang menarik adalah pra wacana atas student government (pemerintahan mahasiswa/negara mahasiswa).
Dia diartikan sebagai pelembagaan kepentingan politik mahasiswa dalam format negara mahasiswa, namun tidak sama dengan negara, dimana konsepnya tidak terlepas dari teori negara. Kalau boleh disederhanakan maka student government adalah gerakan mahasiswa yang dilembagakan.
Agaknya perlu diambil kesepakatan bersama seperti apakah format negara mahasiswa itu. Ada beberapa variasi yang bisa disampaikan mengenai hal ini. Pertama, student government merupakan bentuk pemerintahan yang mengambilalih kekuasaan sehingga unsur-unsur kekuasaan dan kekuatan negara akan dikuasai mahasiswa, hal ini tak lepas dari keprihatinan semakin tidak jelasnya reformasi.
Kemudian yang kedua, student government diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan negara dengan masuk ke dalam sistem kekuasaan namun tidak seluruhnya. Sedangkan yang ketiga, student government merupakan wadah gerakan mahasiswa itu sendiri yang di dalamnya mempunyai bentuk sama atau mirip dengan bentuk negara. Yang terakhir inilah yang barang kali menjadi entry point student government dalam patron reformasi. Selain dari bentuk lembaga tersebut, juga perlu dipikirkan bentuk material, substansi dan prinsip dasarnya.
Student government mempunyai paling sedikit lima prinsip dasar, yakni moralitas, intelektualitas, politis, independen dan sejajar. Masing-masing perlu dikritisi untuk memperoleh gambaran yang ideal tentang konsep yang sedang dibahas ini.
Pertama, student government berpatron pada gerakan moral. Sebelum ide gerakan mahasiswa ini kita kembangkan lebih jauh, agaknya kita perlu lebih bijaksana untuk becermin pada diri kita sendiri dahulu. Gerakan mahasiswa, terlepas dari ideologinya, dilahirkan dan dibesarkan oleh mahasiswa itu sendiri yang sedikit banyak terpengaruh oleh suasana lingkungan dan latar belakang akademis. Dengan kata lain, mahasiswa adalah unsur dari gerakan mahasiswa.
Secara umum masyarakat memandang mahasiswa sebagai bagian kecil dari komunitas terdidik dari bangsa ini. Tapi yang menggelikan tidak semua mahasiswa, namun mungkin cukup banyak, yang kurang menyadari anugerah yang telah disandangnya.
Sebuah ironi ketika mahasiswa meneriakkan slogan-slogan moralitas tatkala mahasiswa yang lain kelakuannya tidak bermoral. Seks bebas, aborsi, pergaulan tanpa batas, narkoba, ayam kampus dan tindak pidana adalah fenomena yang tidak bisa begitu saja dihilangkan dari ingatan. Jika mahasiswa seperti ini yang diberi kesempatan memegang kendali, apa jadinya?
Kedua, student government berpatron pada gerakan intelektual. Gerakan mahasiswa yang berkarakter intelektual memang diharapkan menghasilkan rumusan dan solusi konkret permasalahan bangsa sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Jika harapan ini terlaksana maka sebuah kebahagiaan bagi masyarakat. Mahasiswa menjadi bagian komunitas yang peduli terhadap rakyat yang miskin dan tertindas.
Konsepsi intelektual yang perlu dikembangkan adalah konsep intelektual profetik.
Konsep ini dapat didefinisikan sebagai gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal; gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal; gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Dengan konsep ini, maka gerakan mahasiswa akan menjadi patron bagi masyarakat untuk melakukan pencerahan dan penyadaran. Namun celakanya, konsep pendidikan yang ditawarkan saat ini lebih mementingkan kebutuhan pragmatis. Hasilnya adalah mahasiswa berlomba-lomba untuk menyelesaikan studinya sebelum batas akhir yang seringkali membawa dampak pada keengganan mahasiswa untuk ikut dalam pergumulan membicarakan masyarakat yang teraniaya, apalagi, berorganisasi dengan aktif.
Ketiga, student government merupakan gerakan politik. Sebagai gerakan politik mempunyai arti menjalankan fungsi kontrol (oposisi) terhadap kebijakan, baik kampus maupun negara. Hal ini lebih berarti jika ada jalinan antar gerakan mahasiswa, paling tidak jika ada isu/musuh bersama, biasanya mahasiswa bersatu.
Turunnya $oeharto pada tahun 1998 merupakan salah satu contoh betapa kuatnya gerakan mahasiswa tatkala bersatu. Namun pasca lengsernya $oeharto, gerakan mahasiswa tidak lagi mempunyai kesamaan terutama dalam hal strategi apa yang akan digunakan dalam melaksanakan agenda reformasi.
Untuk mengokohkan peran politik ekstra parlementer, student governement bisa menggunakan strategi: (1). Mempengaruhi dan berupaya berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik. (2). Mengawasi dan memantau pelaksanaan kebijakan publik (3). Memberikan penilaian dan advokasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik.
Keempat, student government bersifat independen. Independen mempunyai arti tidak terpengaruh kepentingan kelompok tertentu terutama di luar mahasiswa. Sejarah Orde Lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan dengan menggarap mahasiswa. tidak heran jika pada masa itu ada anggapan jika HMI adalah alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII-nya, PNI dengan GMNI-nya, PKI dengan CGMI-nya. Hendaknya, pada masa kini, citra KAMMI tidak selalu identik dengan PKS. Ini penting sebagai catatan gerakan mahasiswa tarbiyah.
Meskipun memang, tidak dapat dipungkiri bahwa ekspresi gerakan mahasiswa adalah ekspresi moral yang berdimensi politik, dan ekspresi politik yang berdasar pada prinsip moral dan intelektual. Sebagai gerakan politik yang berbasis moral, gerakan mahasiswa tidaklah berpolitik pragmatis yang berorientasi kekuasaan baik bagi gerakan maupun kadernya.
Masa-masa awal Orde Baru pasca tumbangnya Presiden Soekarno di beberapa lembaga formal intra kampus, seperti di Universitas Indonesia telah terjadi pertentangan yang cukup hebat antara aktivis-aktivis mahasiswa yang berhaluan independen dengan mereka yang berafilisasi kepada lembvaga ekstra kampus. Hal ini barangkali menjadi perdebatan yang terus menerus mengenai peran dari lembaga-lembaga ekstra kampus ini.
Kelima, student government sejajar dengan pihak mana pun. Hal ini adalah sebuah keberanian dari gerakan mahasiswa yang akan menjadi bahasa perjuangannya. Sehingga dengan pihak manapun gerakan mahasiswa mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Hal ini membutuhkan keterlibatan mahasiswa secara luas. Namun, apa dikata, jika ternyata mahasiswa—bahkan secara umum—bersikap apatis, masa bodoh terhadap kondisi kampusnya. Perlu energi yang besar untuk merubah paradigma berfikir. Sehingga untuk menghadapi pihak-pihak di luar maka mahasiswa harus mengatasi kondisi internal mereka sendiri. Jadi membutuhkan energi dua kali.
Lima prinsip dasar di atas merupakan basis bagi pengembangan student government di sebuah kampus, maupun jaringan antar kampus. Dengan adanya proses internalisasi lima prinsip dasar ini, maka gerakan mahasiswa dengan seluruh elemen yang dimilikinya, akan menjadi kekuatan pressure group yang efektif terhadap decision maker, baik di kampus maupun negara. Selain itu, kinerja lembaga di student government tersebut akan mendapat arah yang jelas.
Keuntungan dan Strategi
Perlu dibentuk pemahaman yang benar akan politik kampus. Pengertian yang sebenarnya mengenai politik dalam Islam, akan membawa pada keteguhan gerak dalam menghadapi segala mihnah yang menghadang. Memahami bahwa siyasah adalah sebuah wasilah untuk tahqiq ahdaf al-da’wah (meneguhkan tujuan-tujuan dakwah). Sehingga politik kotor adalah persoalan mental pelaku, dan bukan strategi perjuangan.
Berikut beberapa keuntungan memasuki arena politik kampus. Pertama, dengan membuat partai kampus dan aktif dalam kegiatan politik kampus, maka ada kesempatan menyuarakan kepentingan kita dan mayoritas mahasiswa konstituen. Secara praktis, tujuan-tujuan dakwah akan tersampaikan dalam mimbar legislatif.
Kedua, dengan mendudukkan wakil mahasiswa di Senat Mahasiswa, maka kebijakan kampus dapat kita awasi, kontrol dan rekomendasikan. Ketiga, mengawali kultur positif tentang pengelolaan lembaga mahasiswa, dengan mengembangkan kultur jujur dan amanah, maka mahasiswa konstituen akan benar-benar merasa terwakili dan diayomi, di sinilah nilai dakwah terinternalisasi.
Untuk memaksimalkan sebuah kemenangan, maka perlu memikirkan strategi yang paling menguntungkan bagi dakwah—dengan catatan tidak terseret dalam gelombang pragmatisme. Strategi yang sebagaimana digunakan Rasul dahulu, yaitu al-tahalluf (koalisi) dengan kekuatan perubah dalam struktur masyarakat. Akumulasi kekuatan perubah akan menjadi pressure group paling efektif.
Dalam siyasah, terdapat manhaj perjuangan di tingkat parlemen. Biasa disebut sebagai musyarakah ijabiyah banna-ah (partisipasi positif konstruktif). Dengan metode itu, maka elemen dakwah yang berpolitik, akan terlibat secara maksimal dalam pemberian masukan bagi eksekutif dan pemberlakuan—atau penolakan—sebuah kebijakan.
Jika elemen dakwah di kampus UIN Sunan Kalijaga sudah siap untuk masuk dalam pusaran politik kampus, maka seyogyanya pertanyaan-pertanyaan pada point di atas, sudah tidak lagi dilontarkan. Memasuki wilayah politik berarti siap dengan segalanya. Ingat akan Thariq bin Ziyad di tepi Andalusia yang membakar kapal anak buahnya dan meneguhkan perjuangan di depan mata. Mungkin sekarang saatnya kita teriakkan, “Jangan pernah mundur walau setapak, karena mundur adalah pengkhianatan!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar