Jumat, 22 Maret 2013

Saatnya Menjadi Pemilih yang Kritis

Haitami (Manajemen Dakwah 2009)
Presiden Partai PAS 
(Daulat Edisi 1)

            Demokrasi mahasiswa uin sunan kalijaga Yogyakarta ternyata tidak sedemokrasi apa yang kita pikirkan. Pesta demokrasi yang diadakan 2 tahun sekali ternyata dinodai dengan kecurangan dan kekerasan. Betapa hinannya dalam merebut kekuasaan dilakukan dengan mmenghalalkan segala cara. Apalagi diwarnai dengan unsure premanisme karena mahasiswa adalah kaum intelektual BUKAN bangsa BAR-BAR. Selain itu, fenomena lain yang muncul dalam even 2 tahunan ini ialah maraknya PEMILIH TRADISIONAL.
Apa itu pemilih tradisional?
            Pemilih tradisional adalah pemilih yang mendasarkan keputusan politiknya untuk memilih berdasarkan aliran politik dan ikatan primordial. Pemilih yang berdasarkan aliran politik memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam mengambil keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya pemilih jenis ini memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif ataupun jika mereka tergolong dalam kelas pendidikan yang tinggi namun memiliki pola pikir yang rendah dalam mengkritisi dan memutuskan pilihan politiknya.
            Selain itu, pemilih tradisional juga memutuskan politiknya berdasarkan ikatan primordial. Ikatan primordial yang dimaksud adalah Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) serta asal daerah dan ikatan lainnya. Baik itu family, teman sejawat dan hubungan yang lainnya. Yang dikhawatirkan adalah pemimpin yang lahir dari tangan-tangan pemilih tradisional ini adalah pemimpin yang kurang meliki kemampuan dalam memimpin. Justru pemimpin yang hanya bermodalkan kedekatan dan popularitas yang dibangun berdasarkan ikatan primordial sehingga hanya orang-orang tertentu yang termasuk dalam ikatan-ikatannya lah yang menikmati manfaat kepemimpinan. Sejatinya pemimpin itu untuk rakyat, bukan untuk elit politik atau golongan tertentu.
Pemimpin yang ideal
            Kekuasaan hanyalah instrumen dan kewenangan untuk menciptakan perbaikan sosial. Kekuasaan tidak digunakan untuk memperbesar kepentingan elit politik dengan memperkaya diri mereka masing-masing. Rakyat membutuhkan pihak-pihak yang mengatur hidup mereka. Idealnya adalah prinsip dari seorang pemimpin atau partai berkuasa adalah memberlakukan semua mahasiswa dari berbagai golongan, entah iitu dari pendukungnya ataupun non pendukung, secara sama. Bukan untuk golongan tertentu!!
            Apabila partai berkuasa tidak mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat (mahasiswa) maka sesungguhnya kekuasaan tersebut bukan untuk rakyat (mahasiswa) melainkan hanya untuk elit partai tersebut. Bagaimana melahirkan dan mewujudkan pemimpin yang mampu mengayomi seluruh mahasiswa dari berbagai golongan? Maka satu-satunya cara adalah kita menjadi pemilih yang kritis.
Pemilih kritis
            Pemilih kritis adalah pemilih yang selalu menganalisis system nilai partai atau ideology dengan kebijakan yang dibuat. Biasanya pemilih jenis ini akan meilhat-lihat dulu kandidat, kualitas kandidat termasuk rekam jejak serta program kerja y (visi-misi) yang akan ditawarkan sebelum menentukan pilihan. Jika mereka melihat adanya ketidaksesuaian anatara hal-hal tersebut atau meiliki track record yang masih kurang memadai untuk menjadi pemimpin, jelas mereka akan mencari pemimpin alternative yang mampu memberikan kepercayaan dan jaminan terhadap keadilan serta kesejahteraan akan manfaat kekuasaan tersebut. Wujud kongkret dari pemilih kritis adalah munculnya kelompok oposisi.
Apa itu kelompok oposisi?
            Oposisi bukanlah kalangan yang melawan secara membabi buta. Oposisi adalah setiap ucapan dan perbuatan yang meluruskan kekeliruan tetapi sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah dijalan yang benar.
            Jadi hakikat oposisi terletak pada kejernihannya memandang sesuatu serta konsistensi sikapya dalam menyokong kebenaran. Beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan terhadap kekuasaan politik yang mungkin bisa saja salah dan bisa juga benar. Ketika kekuasaan mengalami kekeliruan, oposisi berfungsi mengkhabarkan kepada khalayak akan kekeliruan tersebut sambil membangun penentangan dan perlawan atasnya.
            Sebaliknya, jika kekuasaan menjalankan kekuasaannya secara benar, maka pihak oposisi menggarisbawahi sambil membangun kesadaran dan aksi publilk untuk mmeminta kelanjutan dan konsistensi dari praktek kebenaran itu. Dalam politik, kebenaran diukur dari proses dan produk. Oposisi itu justru membersihkan kekuasaan dari kemungkinan menyeleweng dari keinginan universasl yang dimiliki banyak orang yakni partisipasi dan keadilan.
            Dalam bahasa politik islam oposisi adalah menyerukan kepada kebenaran dan mencegah kemunkaran yakni amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan menurut fahmi huwayydi, seorang pemikir mesir menegaskan bahwa oposisi bukan sekedar HAK tapi juga KEWAJIBAN karena “seutama-utama jihad adalah mengucapkan kata-kata yang benar kepada penguasa yang dhalim (Nabi Muhammad SAW).
wallahu'alm bisshowab..


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar