Maraknya
kasus anarkis yang terjadi dalam Pemilwa dua periode akhir-akhir ini tidak
hanya menyeret sejumlah nama partai mahasiswa yang masih aktif sampai para
mahasiswa yang datang hanya saat Pemilwa dilakukan, yang hanya merusak budaya
belajar berpolitik di kampus putih yang pro demokrasi dan justru sering
meyakiti hati civitas akademik.
Bukan hanya karena kecewa dengan
mental para pejabat kampus yang berdiri untuk satu golongan tertentu, namun
juga kecewa atas buruknya sistem pengawasan atas pelaksanaan operasional sebuah
miniatur bangsa dalam kampus. Apalagi akhir-akhir Pemilwa ini marak dibahas
mengenai penggelembungan suara pada saat Pemilwa yang hanya menjadikan saksi
sebagai boneka yang hanya bisa melihat proses pencoblosan di balik bilik kotak
suara. Para pemilih yang melakukan curang bisa melenggang bebas kembali setelah
menuntaskan misi tersebut, ya misi penggelembungan suara atau penggemblungan
suara (pembodohan).
Sejak
itu anggapan bahwa Pemilwa yang anarkis
dan terkadang rasis
sudah menjadi budaya kampus yang kian populer. Rangkaian kata-kata tersebut
seolah seperti sebuah kalimat sakti yang kebenarannya masih dapat kita buktikan
hingga detik ini. Sejak pemilwa ini diadakan kerap kali terjadi kerusuhan,
masih teringat lekat dalam ingatan kerusuhan Pemilwa 2005 yang pada waktu itu
masih dikenal oleh masyarakat kampus IAIN, kemudian tahun 2010 kemarin tidak
sedikit terjadi gesekan antar golongan, EGM dan partai mahasiswa yang
berpartisipasi dalam pemilwa. Memang pada masa itu tidak banyak terdengar kabar
ada mahasiswa yang diseret ke pengadilan atau masuk bui karena kasus pemilwa.
Akan tetapi, karya sastra ternyata lebih jujur dari manusia. Karya sastra mampu
merekam sejarah dan menyimpan sejuta cerita dalam dokumentasi perjalanan kampus
putih ini.
Oleh: Assa El-Fath
Fakultas Syariah dan hukum,
Ilmu Hukum 2010