Minggu, 21 April 2013

Ketika Sastra Menyuarakan Pemilwa

            Maraknya kasus anarkis yang terjadi dalam Pemilwa dua periode akhir-akhir ini tidak hanya menyeret sejumlah nama partai mahasiswa yang masih aktif sampai para mahasiswa yang datang hanya saat Pemilwa dilakukan, yang hanya merusak budaya belajar berpolitik di kampus putih yang pro demokrasi dan justru sering meyakiti hati civitas akademik.

            Bukan hanya karena kecewa dengan mental para pejabat kampus yang berdiri untuk satu golongan tertentu, namun juga kecewa atas buruknya sistem pengawasan atas pelaksanaan operasional sebuah miniatur bangsa dalam kampus. Apalagi akhir-akhir Pemilwa ini marak dibahas mengenai penggelembungan suara pada saat Pemilwa yang hanya menjadikan saksi sebagai boneka yang hanya bisa melihat proses pencoblosan di balik bilik kotak suara. Para pemilih yang melakukan curang bisa melenggang bebas kembali setelah menuntaskan misi tersebut, ya misi penggelembungan suara atau penggemblungan suara (pembodohan).

            Sejak itu anggapan bahwa  Pemilwa yang anarkis dan terkadang rasis sudah menjadi budaya kampus yang kian populer. Rangkaian kata-kata tersebut seolah seperti sebuah kalimat sakti yang kebenarannya masih dapat kita buktikan hingga detik ini. Sejak pemilwa ini diadakan kerap kali terjadi kerusuhan, masih teringat lekat dalam ingatan kerusuhan Pemilwa 2005 yang pada waktu itu masih dikenal oleh masyarakat kampus IAIN, kemudian tahun 2010 kemarin tidak sedikit terjadi gesekan antar golongan, EGM dan partai mahasiswa yang berpartisipasi dalam pemilwa. Memang pada masa itu tidak banyak terdengar kabar ada mahasiswa yang diseret ke pengadilan atau masuk bui karena kasus pemilwa. Akan tetapi, karya sastra ternyata lebih jujur dari manusia. Karya sastra mampu merekam sejarah dan menyimpan sejuta cerita dalam dokumentasi perjalanan kampus putih ini. 

Oleh: Assa El-Fath
Fakultas Syariah dan hukum, Ilmu Hukum 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar