Sabtu, 18 Mei 2013

FEBI (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam) UIN SUKA sebagai Bentuk Korban Pendidikan - Edisi Peringatan HARDIKNAS



Haitami F. El-Alaby
Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN SUKA

Tuntutan 2 Mei
          Gemuruh riuh suara diawal bulam Meimerupakan bentuk suara –suara tuntutan. Setiap tanggal 1 Mei, para buruhdiseluruh belahan dunia turun kejalan untuk menyuarakan aspirasinya dalammenuntut kesejahteraan hidup. Mengapa demikian? Karena kesejahteraan para buruhbelum dipenuhi secara maksimal. Buruh yang hakekatnya sebagai actor yang palingutama dan paling berjasa terhadap kualitas kehidupan justru tidak mendapatkankualitas yang sepadan. Buruh dieksploitasi sedemikian rupa, gaji yang diberikansekecil mungkin untuk meraih keuntungan yang besar. Belum lagi  jaminan kesehatan yang masih tidak jelas,apalagi di Indonesia  akhir-akhir inidiberitakan bahwa buruh dijadikan budak, dikurung, disiksa dan sebagainya. Makawajar saja, mereka bersemangat untuk menyuarakan kesejahteraan.

          Beda lagi dengan tanggal 2 mei, makajalan-jalan itu dipenuhi oleh para mahasiswa yang menuntut sebuah system yangjelas tentang pendidikan Negara ini. Tanggal 2 Mei yang kita kenal sebagai HariPendidikan Nasional (HARDIKNAS) itu sampai detik ini belum memberikan kepuasanterhadap dunia pendidikan. Perubahan system pendidikan yang dilakukanpemerintah membuat bangsa ini tidak menemukan identitas pendidikan bangsa.setiap kali pemerintahan berubah, maka berubah juga system pendidikan yang ada,apakah ini sebagai indikasi bahwa pendidikan tersebut harus menyesuaikankepentingan “elit pemerintahan”? Semua orang bebas menjawabnya, bisa saja yabisa juga tidak. It’s ok.

          Ada alasan yang mungkin bisa membuat anda berfikirsebelum menjawab. Salah satunya adalah kapitalisasi disektor pendidikan. Jikamerujuk pada UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, pasal 63 yangmenjelaskan bahwa kampus memiliki otonomi dalam pengelolaannya termasukdiantaranya tentang nirlaba. Maka tidak salah jika kampus memiliki pengendaliankeuangan untuk meraih keuntungan. Kita juga tahu bahwa, beberapa kampusmemiliki kekuatan untuk memaksimalkan pendapatan seperti UI yang memiliki badanusaha seperti SPBU, perhotelan dan UGM memiliki studi riset yang memiliki nilaijual serta kampus-kampus lainnya. Potensi inilah yang menjadi menarik bagikalangan kapiltalis untuk masuk diranah pendidikan walau apapun alasannya termasukuntuk mengembangkan kampus tersebut. Oleh karena itu, dengan menyerahkan nyakepada kampus dan dunia industry membuat biaya semakin mahal serta peluangliberalisasi pendidikan makin terbuka.

          Disisi lain, kampus-kampus juga menggunakan Sistem Kredit Semester (sks). Jika kita lihat sekilas, system ini berupayauntuk membuat mahasiswa lebih melek dengan akademiknya sebagai insan akademiksebab kampus merupakan media akademisi. Memang betul namun jika kita telusurilagi, system ini sebenarnya berusaha membuat mahasiswa sibuk pada ranahakademiknya saja dan perlahan membuat studi kritis terhadap nasib bangsa sertabirokrasinya menjadi tumpul. Lebih dari itu, konsep ini berusaha agar mahasiswatidak banyak yang ikut campur terhadap birokrasi kampus sehinggabirokrat-birokratnya bisa merasa aman. Belum lagi jika kita kaji secara factualbahwa seberapa banyak mahasiswa yang mendapatkan ilmu yang intensif dari systemini? Atau seberapa maksimal kampus mencetak mahasiswa yang intelek? Padahal,justru mahasiswa yang intelek tersebut mencari sendiri ilmunya bukan dari hasilsystem ini.

          Tuntutan 2 mei tidak hanya itu, studikritis juga dilakukan terhadap konsep kurikulum 2013. Konsep yang sudah dikaji Oleh KAMMI Daerah Kota Yogyakarta menyimpulkan bahwa Indonesia mengadopsikonsep pendidikan Amerika Serikat yang sudah dinyatakan GAGAL. Parahnya lagi,peran guru menjadi terbatas dan cara pandang serta pola pikir siswa akanmenjadi sangat mekanis  dan tidak mampuberfikir secara kritis untuk kemajuan bangsa Indonesia.

          Belum lagi kita berbicara sekolah berbasisinternasional. Sekolah sekan menjadi ajang pamoritas yang berdampak  terjadinya sekat antara kalangan atas danbawah, yang pintar dengan yang kurang pintar dan lain seterusnya. Meskipunkebijakan ini sudah dihapus, namun masih saja momok tersebut belum hilang.Begitu pula sekolah-sekolah unggulan, yang dapat diartikan bahwa sekolahlainnya tidak unggul. Fenomena ini menambah luka di hati ibu pertiwi.

          Lagi-lagi bubruknya Pendidikan bangsa  ini semakin komplit saja ketika fakta-fakta lemahnyamanjemen penyelenggaraan ujian nasional terungkap. Setidaknya ada 8 provinsiyang ditunda dalam penyelenggaraannya. Ironis, seorang “mentri” bersikukuhuntuk tetap menyelenggarakannya tanpa kajian studi yang mendalam. Ujian Nasional ternyata dimanfaatkan olehsegelintir orang untuk meraih keuntungan terutama untuk bocoran-bocoran kuncijawaban. Yang kita ketahui, praktek Ujian Nasional menjadi momok yangmenyeramkan bagi siswa. Penentuan kualitas siswa selama tiga tahun ditentukandalam beberapa hari saja. Ini memeberikan kesempatan kepada siswa untuk lulusUN dengan menghalalkan segala cara. Sangat disanyangkan bahwa generasi bangsasudah melakukan hal-hal yang tidak benar sejak usia muda. Sementara sekolahsendiri berupaya sekuat tenaga untuk membantu siswanya dalam kelulusan karenakeadaan ini berpotensi menurunkan citra sekolah jika siswa-siswinya banyak yangtidak lulus. Para konsumen pendidikan dalam hal ini siswa dan mahasiswa menjadikorban.

          Studi kasus diatas untukmenguatkan betapa penting teori humanistika dalam dunia pendidikan yang digagasoleh Arthur Combs (1912-1999). Teori ini bertujuan untuk memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Yang dirasakan selama ini adalah siswa/mahasiswamenjadi tumbal dari dampak perubahan sistem pendidikan. Sebenarnya sistem yangkuat itu adalah sistem yang mampu bertahan lama dan teruji. Teori ini tidakhanya sebagai pukulan keras kepada bangsa tetapi sebagai stimulan untukmenyadarkan bangsa bahwa konsumen pendidikan (Siswa/mahasiswa) bukan budakpendidikan. 

FEBI Korban di Kampus Putih
          Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) yang baru lahir di Kampus Putih UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini merupakan salah satu bentuk  korban ketidakjelasan pendidikan. Keputusan Dirjen Pendidikan Islam no. 522 tahun 2012 memang menyetujui dibukanya fakultas baru ini. Fakultas ini merupakan bagian dari keinginan dari rektor yang menjabat, - sebab beliau berlatar belakangkan pengusaha-  yang  sebenarnya belum layak untuk dibuka.
          Keputusan Dirjen ini dikeluarkan pada tanggal 21 maret 2012 semestinaya harus diperkuat oleh Keputusan Mentri Agama no. 394 tahun 2003 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Nasib FEBI semakin tidakjelas ketika keluarnya Permenag no. 26 tahun 2013 tentang organisasi serta tata kerja Universita Islam Negeri UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam Ortaker baru tersebut, menejelaskan bahwa hanya ada 7 fakultas di UIN SUKA yang berarti FEBItidak resmi atau illegal.
          Ortaker yang dikeluarkan tersebut sekaligus menghapus keputusan Dirjen tentang dibukanya FEBI sebab PMA no. 26 dikeluarkan lebih terbaru yakni pada tanggal 20 september 2012. Pada pasal 10, ortaker menjelaskan konten universitas UIN SUKA sebagai berikut:
a. Adab dan Ilmu Budaya
b. Dakwah dan Komunikasi
c. Syariah dan Hukum
d. Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
e. Ushuludin dan Pemikiran Islam
f.  Sains dan Teknologi
g. Ilmu Sosian dan Humaniora
          Sedangkan FEBI tidak dijelaskan. Pasal ini sekaligus mempertegas nama-nama fakultas UIN SUKA dan perubahannya. Jika sebelum-sebelumnya, fakultas dakwah pernah menggugat nama fakultasnya menjadi fakultas Dakwah saja namun sekarang perubahan itu dikembalikan menjadi Dakwah dan Komunikasi. Inilah yang menjadi pegangan UINSUKA kedepannya.
Masa Depan
          Berbicara masa depan FEBI, maka Fakultas ini cacat legalitas dan hukum. Secara defacto dan dejure fakultas ini tertolak.Dalam pendirian fakultas harus mendapatkan juga restu dari Permen dan Permenag.Sebab inilah landasan utama yang dapat dipertanggungjawaban.
          Sebut saja Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang berkeinginan membuka fakultas kedokteran. Berdasarkan syarat-syarat di dalam kemenpan no. 234 dan kemenag no. 394 telah dipenuhi yakni memiliki bangunan sendiri dan lain sebagainya. Namun berdasarkan permen yang mengharuskan kampus tersebut memiliki poliklinik terlebih dahulu makaUniversitas Muhammadiyah Purwokerto tidak bisa mendirikan fakultas kedokteranyang disebabkan belum memiliki poliklinik sendiri. Artinya bahwa permen dan menpan mengalahkan keputusan Dirjen.
          Berkaca pada kampus-kampus lain, UIN Alaudin lebih dewasa dalam mengatasi hal ini. Ekonomi dan Bisnis tidak dijadikan sebagai fakultas melainkan dibawah fakultas yang terdekat yakni fakultas syariah. Jika UIN SUKA tetap memaksakan , sementara bangunan saja belum punya,tenaga pengajar belum memadai, maka yang terjadi adalah adanya pungutan-pungutan liar untuk mempertahankan fakultas ini. Pungutan-pungutantersebut sebenarnya justru membahayakan posisi dekan yang bersangkutan. Pungutan yang sangat memberatkan dan membuat mahasiswanya sebagian lebih memilih berhenti kuliah karena ketidakmampuan dalam menunaikan pungutan liar tersebut.
          Kalaupun kemudian Rektor UIN SUKA dan Dekan FEBI berpikir untuk menitipkan kepada fakultas terdekat, itupun juga harus mendapatkan persetujuan menpan. Tidak bisa seenaknya main titip saja, dalam penitipan pun juga masih dibawah jurusan Keuangan Islam (KUI) bukan sebagai jurusanbaru. Pengajuan ini dilakukan secara bertahap. Inilah nasib masa depan FEBIyang menjadi korban kepentingan dunia pendidikan yang memperburuk citrapendidikan bangsa.

Misi Penyelamatan
          Misi penyelamatan ini sangat diperlukan dan bersifat mendesak. Jika tidak diperhatikan, maka akan sangat tidak jelas lagimasa depan mahasiswa FEBI UIN SUKA yang cacat legalitas dan hukum apalagi ada janji-janji untuk segera mengakreditasi fakultas tersebut, maka sangat tidakmungkin, sehingga setidaknya  yang perlu dilakukan adalah menitipkannya ke fakultas syariah dan hukum dibawah jurusan KUI dan diusahakan menjadi jurusan sendiri.
          Misi penyelamatan ini ditujukan untuk beberapa kalangan. Pertama Mahasiswa, sebagai korban konsumen pendidikan, maka sudah sepantasnya untuk diselamatkan. Mahasiswa yang tidak tahu apa-apa tentang kasusini mendapatkan kerugian yang besar. Kerugian secara financial yang dipungut secara besar-besaran untuk sewa gedung dan memberikan gaji dan juga kerugiansecara psikologi karena shock bahwa masa depan mereka digantung diatas ketidakjelasan. Jangan sampai mahasiswa dijadikan sebagai kelinci percobaan, sebab dalam pembukaan fakultas baru bukan ajang main-main. Abraham Maslow mengemukakan teori humanistika dengan konsep Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Hirarki kebutuhan tersebutadalah sebagai berikut: Kebutuhan fisiologis / dasar, Kebutuhanakan rasa aman dan tentram, Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, Kebutuhan untuk dihargai, Kebutuhan untuk aktualisasi diri. Melihat fakta yang ada maka teori ini masih dirasa jauh, dimana jaminan dasar yang belum terpenuhi, rasa aman dan tentram yang bertolak belakang dan seterusnya.
          Kedua adalah orang tua, yang justru kepercayaan mereka untuk menyerahkan anak-anaknya ternyata menjadi korban kepentingan-kepentingan yang ada. Tanggung jawab seperti apa yang akan diberikan jika tetap dipaksakan? Sehingga penitipan kefakultas terdekat adalah bentuk tanggung jawab yang kongkret bukan obral janji ini dan itu.
          Misi penyelamatan ketiga untuk birokrat kampus yakni Rektor dan Dekan. Rektor yang membuat kebijakan yang tidak bijakini bisa mempengaruhi kredibelitasnya dan menggoyang kursi kepemimpinannya sebagai rector. Sedangkan Dekan, yang melakukan pungutan-pungutan liar serta obral janji juga terselamatkan. Ini sangat urgen Karena terlalu berbahaya jikabermain-main diwilayah perundang-undangan.
          Misi penyelamatan keempat adalah menyelamatkan citra kampus tercinta dari hal-hal yang merusak tatanan nilai kampus.Selama ini, kampus rakyat adalah nama lain dari kampus ini sudah mendapat ruang dihati masyarakat. Kampus yang termurah didunia ini ternyata tidak murahan. Kualitas civitas akademika UIN SUKA sebenarnya tidak diragukan lagi.
          Jika dunia pendidikan Nasional mendapat banyak sorotan, citra pendidikan semakin bubruk, system pendidikan yang silih berganti serta kemampuan meningkatkan taraf pendidikan yang masih lemah maka perbaikan-perbaikan tersebut harus dimulai dengan unit-unit kecil. UIN SUKA merupakan sebagian kecil dari sekian banyaknya kasus pendidikan yang ada yang harus diselamatkan. Semoga dengan menyelamatkan generasi kaum intelektual ini, masa depan bangsa semakin baik. 
Wallahu’alam Bishowab....

1 komentar: